Apa yang pertama kali Sahabat pikirkan ketika mendengar kata arsitektur.
Sebagian dari kita mungkin akan terlintas definisi arsitektur yang berkutat dengan ilmu bangunan atau ilmu untuk membuat struktur suatu bangunan.
Tidak ada yang salah dengan itu, karena arsitektur memang memiliki definisi demikian.
Definisi ini akan menjadi kurang tepat jika Sahabat hanya memaknai arsitektur dengan ruang lingkup sempit seperti itu. Arsitek, harus mampu memikirkan relasi bagaimana tampilan dari suatu bangunan memiliki pengaruh yang besar terhadap psikologi seseorang. Di dalam arsitektur, ilmu ini disebut dengan Neuro-Arsitektur.
Neuro-Arsitektur
Neuro-Arsitekturadalah cabang ilmu yang mempelajari respon otak dan tubuh terhadap arsitektur atau ruangan.
Arsitek juga harus memahami bagaimana pemilihan lampu yang tidak tepat, dapat meningkatkan resiko kanker pemilik bangunan.
Juga harus memahami bagaiaman pemilihan kursi yang tidak tepat, dapat mempengaruhi kesehatan tulang belakang pemilik bangunan.
Arsitek harus memikirkan bagaimana desain interior sebuah kantor agar karyawan yang berada di dalamnya dapat terus produktif dengan kerjaan mereka.
Itulah analogi sederhana dari neuro-arsitektur.
Cabang ilmu Neuro-Arsitektur memang akan banyak ditemukan ketika mahasiswa arsitektur mempelajari mata kuliah estetika atau sejenisnya.
Ilmu ini akan terasa berat dipelajari apabila diaplikasikan untuk membangun bangunan yang sebelumnya telah hancur.
Pernyataan ini adalah bentuk tersirat dari perkataan Winston Churchill tahun 1943 tentang rencana rekapitulasi Gedung House of Commons1943 setelah mendapat teror bom.
“Kita membentuk bangunan dan kemudian bangunan membentuk kita”.
Apa yang terjadi pada Gedung House of Commonstahun 1943, menandakan bahwa suatu bangunan memang dapat koneksi tersendiri dengan orang-orang yang berada di dalamnya.
Arsitektur Ilmu Mempelajari Estetika Suatu Bangunan
Di dalam ilmu neuro-arsitektur, Sahabat juga akan mempelajari bagaimana interior dapat bersahabat dengan orang-orang di dalamnya. Ruangan yang ada di Rumah Sakit Jiwa tentu tidak akan sama dengan ruangan yang diperuntukkan oleh umum.
Profesor ilmu saraf, David Salmon mengatakan bahwa orang-orang dengan penyakit demensia dan Alzheimermemiliki masalah untuk identifikasi obyek asing, seperti gagang pintu, ataupun jendela.
Arsitek harus dapat memahami setiap detail dari penyebab atau pemicu kebingungan dari si pengguna.
Neuro-arsitektur, juga tidak hanya berlaku untuk satu ruang lingkup kecil tentang 1 bangunan, namun lebih dari itu seperti perumahan dan bahkan juga meliputi satu kota.
Menurut Gans (1961) dalam jurnal “Planning and Social Life” menjelaskan kehidupan sosial budaya penghuni berkaitan erat dengan heterogenitas atau homogenitas yang baik terhadap arsitektur dengan konteks luas seperti perumahan.
Arsitektur perumahan atau perkotaan bukan hanya memikirkan bagaimana satu bangunan mempengaruhi psikologis, namun memahami bagaimana pengaruhnya dengan sosiologi masyarakat.
Kemudian dengan itu, mereka dapat merancang bangunan tertentu pada titik-titik strategis untuk pembangunan kota. Seperti halnya, lokasi pemberhentian bus kota, haruslah dapat menjangkau lokasi-lokasi yang memang padat akan penduduk.
Gunanya adalah untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sehingga macet dapat terhindar atau sekurangnya tidak begitu padat.
Merekalah yang menciptakan bagaimana furniture untuk orang-orang berkebutuhan khusus ditempatkan, dan sebagainya.
Ilmu inilah yang sedikit banyaknya dapat menambah suasana hati dari orang-orang yang merasakan manfaat dari bangunannya. Konsep neuro-arsitektur inilah yang juga menjadi konsep setiap karya dari arsitek dari tim Mulia Arsitek. Kami Mulia Arsitek, adalah mitra terbaik dalam menyelesaikan kebutuhan properti Sahabat, terkhusus untuk daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya.
Untuk informasi selengkapnya, sahabat bisa mengunjungi website kami, yaitu di www.muliaarsitek.com, serta Instagram dan Facebook, Mulia Arsitek. Atau dengan menghubungi admin kami, di 0811-264-8986.